Moderator: Wardatul Marufah (1302045064)
Notulen: Eri Adiati (1302045067)
Dokumentasi : Achmad Syahrif (1302045033)
(catatan: karena diskusi berjalan tidak cukup diselesaikan hingga waktu berakhir, maka diskusi dilanjutkan di hari lain dan mahasiswa sebagian besar terlibat dalam sesi diskusi tersebut)
Diskusi kali ini membahas tentang:
Keefektifan atau ketidak-efektifan ASEAN sebagai organisasi regional
secara HISTORI:
Tiara Tiffany (1302045024): Sebenarnya negara-negara di ASEAN sudah punya perjanjian persahabatan yaitu Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia disini negara anggota ASEAN sudah sepakat untuk meninggalkan kekerasan dan menggunakan cara damai buat menyelesaikan konfliknya. Tapi karena masih rendahnya rasa saling percaya di antara negara anggota. Negara-negara ASEAN yang berkonflik lebih memilih penyelesaian secara bilateral atau menyerahkan penyelesaian persoalan kepada lembaga internasional seperti Mahkamah Internasional. Jadi ASEAN belum bisa dikatakan maksimal berperan dalam penyelesaian konflik di asia tenggara.
Dara Maharani Agista (1302045029): ASEAN sudah sangat berperan aktif dalam menyelesaikan kasus laut cina selatan contohnya. Memang dalam menyelesaikan kasus itu ASEAN lebih memilih jalan damai. Tetapi hasil nya sudah terlihat dg adanya kesepakatan antara ASEAN dan juga RRT, hingga disepakatilah Declaration on Conduct of the Parties in South China Sea (DOC) yang disepakati di Kamboja, pada 4 November 2002. Untuk kemudian yang terakhir adalah disepakatinya Guidelines for the Implementation of the DOC, yang menjadi awal pembahasan dari Code of Conduct, atau tata aturan berperilaku di Laut Cina Selatan pada tahun 2011. Hal ini merupakan sebuah keputusan yang progressif dimana pada tahun yang sama terjadi peningkatan Hubungan Diplomatik antara ASEAN dan RRT dengan diresmikannya ASEAN-China Centre (ACC).
Titha Julia Pratiwi (1302045003) ASEAN bisa dibilang masih efektif atau tidaknya itu gak bisa diukur dari apa yang udah ASEAN lakukan buat menyelesaikan masalah tersebut karena ASEAN juga udah melakukan berbagai pertemuan yang membahas tentang permasalahan tersebut, dikutip dari www.bbc.com bahwa sebenarnya ASEAN telah melakukan pertemuan yang membahas tentang permasalahan tersebut, namun karena banyaknya campur tangan yang ikut berpendapat dalam sengketa tersebut, khususnya negara di luar ASEAN yaitu AS membuat sengketa tersebut tidak akan bisa selesai karena adanya kepentingan yang tentunya ingin diutamakan oleh pihak luar ASEAN. Jadi menurutku itu gak bisa dijadikan tolak ukur apakah ASEAN efektif atau tidak.
Heni Syintia Putri (1302045009): ASEAN dalam kasus ini lebih memilih jalan damai karena ASEAN sudah memiliki perjanjian yg sudah di sepakati yaitu meninggalkan kekerasan.
Mochammad Uud Zaimmudin (1302045072): Sengketa wilayah Laut Cina Selatan sulit diselesaikan sebab setiap negara yang terlibat mempunyai kepentingan sendiri dan menempuh pendekatan sendiri meskipun beberapa negara yang mengklaim masuk dalam wadah ASEAN. Khusus nya Negara Filipina, yang dengan Tegas mendesak ASEAN untuk mengatasi masalah Reklamasi pantai di wilayah yang juga di klaim oleh Filipina Sementara negara seperti Malaysia lebih lunak dalam menghadapi persoalan tersebut. Seperti yang saya dapat informasi dari pengamat Politik Malaysia Elina Noor yang menyampaiakan bahwa: “Hubungan antara ASEAN dengan Cina tidak hanya menyangkut masalah Laut Cina Selatan saja. Hubungan itu mencakup aspek ekonomi, aspek politik dan aspek diplomatik. Jadi ada aspek-aspek lain yang mungkin lebih penting daripada apa yang terjadi di Laut Cina Selatan.”
secara NASIONALISME:
Mengenai masalah nasionalisme ini, kami mengambil sebuah kasus tentang bangsa Moro di Filipina. Berikut diskusi kami tentang bangsa Moro. Sebagai opening statement NADIA SURYANINGRUM (1302045046) memaparkan pendapatnya: Masyarakat Islam di Filipina juga seringkali disebut bangsa Moro, yang berdomisili di Filipina bagian selatan, tepatnya di Mindanao dan kepulauan Sulu.Pada zaman imperialisme, Spanyol pernah menjajah Filipina dan telah berhasil memasukkan agama Kristen disana. Masyarakat Kristen ini kemudian menjadi dominan, sementara masyarakat Moro yang memeluk Islam menjadi minoritas dan marginal. Hal tersebut semakin diperparah dengan kebijakan asimilasi oleh pemerintah Filipina melalui pembangunan sekolah dan fasilitas umum, menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar agar Kristen dapat terintegrasi dan masuk ke dalam masyarakat Moro. Aturan yang dibuat pemerintah pun didasarkan pada agama Kristen. Sebagai dampak dari tidak adanya porsi masyarakat muslim untuk turut berpatisipasi dalam perpolitikan, pada tahun 1967 muncul gerakan separatisme di Filipina, seperti MILF (Moro Islamic Liberation Front), disusul kemudian dengan MNLF (Moro National Liberation Front) pada tahun 1969. Gerakan separatisme ini mendapat sambutan hangat dan memperoleh bantuan ‘pendidikan’ dari negara Timur Tengah.
Lalu SANTI KUSUMAWATI (1302045034) menambahkan: Masa Imperialisme Amerika SerikatSekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya. Secara tidak sah dan tak bermoral Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 melalui Traktat Paris.Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri mereka sebagai seorang sahabat baik dan dapat dipercaya. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro. Namun traktat tersebut hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo. Terbukti setelah kaum revolusioner kalah pada 1902, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903) Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah propinsiMoroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu.
Setelah itu DEVI WULANSARI (1302045013) memberikan pendapatnya: Setelah Amerika Serikat membentuk Negara Filipina, mereka juga turut memasukanMoro ke Negara Filipina, padahal saat itu Kesultanan Mindanao menolaknya. KesultananMindanao beranggapan bahwa mereka berbeda dari Negara Filipina. Usulan melalui proposal pun sudah dilayangkan bangsa Moro kepada Amerika Serikat, namun pihak AS menolaknya.Pada masa pembangunan Negara Filipina tidak mengakui hukum adat Bangsa Moro. Halini terjadi karena Bangsa Moro pernah menyerang pusat pemerintahan di Manila, sehinggamenimbulkan dendam bagi Pemerintah Filipina. Kondisi ini sangat tidak mengenakan dan sangatmemojokan Kaum Islam Minoritas Moro. Untuk mengatasi hal tersebut, dipelopori oleh Nur Misuari, maka dibentuklahMoro National Liberation Front (MNLF) pada tahun 1971.Pada 1976 Pemerintah Filipina berunding dengan pimpinan MNLF dengan mediator adalah OKI (Organisasi Konferensi Islam). Pertemuan tersebut menghasilkan Perjanjian Tripoli yang berisi hak–hak otonomi daerah bagi 13 wilayah di Mindanao. Perjanjian tersebuttidak membuahkan hasil karena mempunyai multi-tafsir sehingga sulit untuk dilaksanakan. Padawaktu itu MNLF juga sempat pecah menjadi dua yakni; MNLF dan MILF (Moro Islamic Liberation Front) pimpinan Salamat Hashim.Berbagai usaha pendekatan untuk merangkul MNLF dan MILF terus dilakukan oleh para pemimpin Filipina, namun usaha tersebut selalu gagal. Pada Pemerintahan Ramos dimulailah proses rekonsiliasi dengan MNLF, yaitu melalui Final Peace Agreement (FPA). Perjanjian tersebut hanya merangkul MNLF saja sedangkan MILF tidak dilibatkan. Pada Pemerintahan Presiden Estrada terjadi penyerangan terhadap markas dari MILF oleh pasukan tentara Filipina.Peristiwa tersebut menjadi awal bagi MILF untuk melakukan perjuangan diplomasi dan pencarian bantuan ke dunia internasional.
NUR HASANAH (1302045061) berpendapat: Gerakan separatis ini dilakukan karena terdorong oleh 4 faktor yaitu pertama, adanya transmigrasi orang-orang Katolik dari utara sehingga menyebabkan masyarakat muslim menjadi kaum minoritas di tempat asalnya sendiri. Kedua, ketidakinginan menyatu dengan aliran sekuler Manila. Ketiga, kekecewaan atas keterbelakangan yang terjadi pada perekonomian dan infrastruktur Mindanao. Keempat, merasa takut akan terjadinya asimilasi agama, kebudayaan, dan tradisi politik dengan Katolik yang menjadi agama dominan di Republik Filipina.
Tetapi INGGRIT AGUSTIN WULLUR (1302045027) mengemukakan beberapa fakta yang didapatkannya: Latar belakang dan faktor-faktor penyebab timbulnya konflik Moro dengan pemerintah Filipina yaitu:
- Faktor Sejarah
Di antara faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya konflik Muslim Moro adalah faktor sejarah, maksud faktor sejarah ini yaitu dampak dari penjajahan oleh bangsa Spanyol dan Amerika Serikat yang berupaya mengintegrasikan wilayah-wilayah Moro dengan Filipino. Telah diketahui Wilayah Filipina Selatan (Kepulauan Mindanao dan Sulu) sebelum kedatanggan penjajah, sudah terlebih dahulu ada agama Islam yang sangat mengakar di wilayah tersebut. Pada saat itu, Muslim Moro telah mencapai tingkat peradaban yang cukup tinggi dan Masyarakat Moro sudah memiliki sistem hukum dan politik yang diatur berdasarkan Syariat Islam.
Muslim Moro seperti yang telah diwakilkan oleh MILF menyatakan bahwa Bangsa Spanyol selama 300 tahun lebih tidak pernah berhasil menundukkan masyarakat Moro menjadi daerah jajahan. Bangsa Spanyol telah menggunakan berbagai cara untuk menundukkan masyarakat Moro. Seperti diterangkan oleh Syahbuddin Mangandaralam menyatakan bahwa orang Moro yang beragama Islam di Filipina Selatan, sepanjang sejarahnya belum pernah berhasil ditundukkan oleh Spanyol dari sudut agama dan kebudayaan. Mereka tetap bertahan dari pengaruh kebudayaan Spanyol dan agama Katholik sampai saat ini. Untuk melawan kekuasaan Spanyol, orang-orang Moro membangun armada-armada perahu dan bertindak sebagai bajak laut yang tangguh.
- Ketimpangan Ekonomi dan Sumber daya di wilayah Filipina Selatan
Sebenarnya bila dicermati lebih lanjut, konflik Muslim Moro dengan penguasa (pemerintah Filipina), dipengaruhi oleh sikap dan tindakan pemerintah terhadap kelompok minoritas. Sikap dan tindakan pemerintah dapat dilihat dari pola-pola kebijakannya. Melihat kasus konflik yang terjadi di Filipina tersebut, latar belakang timbulnya konflik tidak hanya sekedar faktor sejarah saja, melainkan juga sikap dan kebijakan penguasa yang tidak adil terhadap wilayah Muslim Moro.
Dijelaskan oleh Caesar Adib Majul terkait masalah Moro berdasarkan berbagai laporan komite Senat telah menekankan, bahwa masalah-masalah di Cotabato disebabkan oleh besarnya gelombang kaum penetap dari provinsi-provinsi lain, dan akibat kegagalan pemerintah dalam membantu orang-orang Islam meningkatkan produktivitas mereka. Contohnya, sebuah laporan Senat mengungkapkan bahwa sampai tahun 1971, di daerah-daerah yang terutama terdapat populasi Islam, disana tidak terdapat proyek-proyek irigasi. Laporan ini juga menyebutkan bahwa di daerah-daerah yang orang Islamnya telah menjadi minoritas, tidak ada orang-orang Islam yang dapat dipilih untuk jabatan-jabatan politik.
Disisi lain ketimpangan sosial dan ekonomi dapat dilihat pada pendapatan per kapita wilayah Muslim. Angka kemiskinan di wilayah muslim sangat tinggi. Berdasarkan data Heru Susetyo menerangkan bahwa pendapatan perkapita di wilayah muslim adalah Php (Philippina Peso) 3.433 pada tahun 2005.Tentu sangat kontras bila dibandingkan dengan pendapatan per kapita di wilayah lainnya, contohnya di 17 region lainnya adalah Php 14.186. bahkan region termiskin kedua di Filipina pendapatan per kapitanya masih dua kali lebih baik daripada wilayah otonomi Muslim (ARMM).
- Diskriminasi dan Tekanan Terhadap Identitas Sosial Budaya
Menurut Heru Susetyo bahwa kesulitan dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan penyebab permasalah masyarakat Moro. ”Penduduk Muslim sukar mendapatkan pekerjaan di kantor-kantor pemerintah maupun di pertanian umum, hanya karena mereka muslim”. tutur Evelyn, Muslimah Moro yang diwawancarai Heru Susetyo. Diskriminasi dalam bidang pekerjaan juga jelaskan oleh Erni Budwanti sejumlah perusahaan dan industri yang dikembangkan oleh pemerintah dan swasta. Misalnya, perusahaan baja nasional menyerap pekerja-pekerja non Muslim dari Luzon dan Visayas. Selain itu menurut Erni Budiwanti diskriminasi dan tekanan juga terlihat dari perubahan pemakaian tanah-tanah Moro, banyaknya tanah-tanah Moro digunakan untuk pembangunan jaringan infrastruktur yang menghubungkan wilayah Selatan dan Utara Filipina, seperti jalan raya, gedung perkantoran, daerah perdagangan, pembangkit listrik, dan kawasan industri lainnya. Penggusuran-penggusuran terhadap masyarakat Moro seringkali dilakukkan untuk kepentingan pembangunan. Contohnya terjadi penggusuran terhadap dua puluh dua keluarga miskin masyarakat Moro di General Santos untuk meratakan jalan bagi pembangunan konstruksi Departemen Perikanan Filipina.
Pendapat NOFITA ANDES N. (1302045047): Tindakan kekerasan fisik terhadap Bangsa Moro pertama kali terjadi di Upi berkaitan dengan persiapan pemilu yang akan diselenggarakan pada bulan November 1971. Manuel Tronto, mantan perwira polisi ingin menjadi walikota Upi dan meminta temannya untuk mengusir orang-orang Islam dari Upi untuk menjamin kemenangannya. Penyerangan ini dikoordinir oleh organisasi Kristen yang dikenal sebagai ILAGA. Kalangan muslim mulai merespon serangan tersebut dengan membentuk milisi-milisi yang sejenis di Cotabato yang terkenal dengan sebutan “blackskirt” dan “barracuda”. Pada awal tahun 1970-an kalangan muslim telah menghadapi kebijakan “genocidal” yang diduga diprakarsai oleh Pemerintah Filipina. Permusuhan dan pembantaian terhadap Bangsa Moro dilakukan oleh ILAGA yang didukung oleh militer, kalangan penegak hukum serta dilegalkan di bawah payung Civilian Home Defence Force (CHDF) of the Department of National Deffense. ILAGA seringkali dilaporkan tidak pernah dituntut secara hukum (impunity) atas kejahatan yang dilakukan baik di tingkat lokal maupun nasional. Adapun praktik-praktik ethnic cleansing yang terjadi pada awal munculnya gerakan separatis antara lain adalah sebagai berikut. Pada awal tahun 1970-an, peperangan dan konflik antara Islam dan Kristen berkembang hampir di seluruh Mindanao. Cotabato merupakan provinsi yang paling berbahaya di Filipina. Pembantaian terhadap masyarakat muslim terus berlangsung dari kota ke kota. Pada bulan Juni 1971, pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat muslim secara terang-terangan dan terbuka oleh komunitas Kristen pertama kali terjadi di Manili, Carmen, Cotabato utara.
Seluruh penduduk Carmen pada waktu itu adalah muslim. Pembantaian berawal dari undangan beberapa tokoh Kristen pada tanggal 9 Juni 1971 untuk membahas masalah perdamaian. Masyarakat Muslim disarankan untuk berkumpul di Masjid. Orang-orang Muslim bersedia datang dengan harapan melalui dialog tersebut dapat menghentikan ketegangan diantara kaum Islam dan Kristen. Namun yang terjadi selanjutnya bukanlah dialog yang seperti diharapkan melainkan penembakan yang dilakukan oleh milisi-milisi ILAGA. Cesar Majul mengatakan bahwa dalam insiden tersebut 70 orang muslim baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak tewas terkena tembakan milisi-milisi ILAGA. Manila Times menyebutkan bahwa pada insiden tersebut mengakibatkan 70 orang terbunuh dan 17 luka-luka. Dari 70 orang yang meninggal, setidaknya 29 perempuan dan 17 anak-anak. Sebuah surat kabar memberitakan bahwa diantara korban yang tewas ada seorang bayi yang berusia 3 bulan dan pada waktu itu masih menyusu pada ibunya. Selain melakukan pembantaian, milisi-milisi tersebut juga membakar sekolah-sekolah, menghancurkan rumah-rumah, dan membakar seluruh daerah tersebut. Pembantaian masyarakat muslim di Manili menimbulkan tanda tanya besar karena daerah tersebut berada di bawah perlindungan kepolisian. Mengapa pada saat pembantaian kepolisian tidak segera bertindak menyelamatkan mereka. Kepolisian datang ketika ILAGA sudah ditarik mundur. Hal ini menimbulkan prasangka yang semakin kuat bahwa kepolisian dan ILAGA saling bekerja sama untuk mengusir dan membubarkan orang-orang Islam terutama Bangsa Moro di seluruh Mindanao. Bukti lain adalah ketika terjadi pertempuran antara lascar Muslim dengan lascar Kristen, seringkali kepolisian menyerang pihak muslim. Kalangan politisi Islam sudah membujuk pemerintah untuk membongkar persekongkolan ini. Namun demikian hal ini sangat sulit dilakukan karena pihak dibalik penyerangan ini adalah politisi-politisi Kristen yang merupakan anggota dari partai politik yang berkuasa. Selanjutnya sebagian dari kelompok-kelompok bersenjata muslim mempersatukan diri dalam Moro Independent Movement (MIM) untuk melindungi teritori mereka dari serangan kaum pendatang.
Sebanyak 70.000 orang pengungsi melarikan diri dari Carmen menuju kota-kota di Cotabato. Pola-pola genocida telah menyebar ke seluruh Cotabato. Sekitar 800 orang terbunuh dan 2000 rumah terbakar di 3 kota sepanjang 6 bulan. Insiden Manili mendorong protes yang sangat keras dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat muslim Filipina. Tiga puluh tokoh muslim Filipina di media massa menyatakan bahwa mereka mengkhawatirkan keberadaan komunitas muslim Filipina. Kota Carmen kemudian ditinggalkan oleh orang-orang Muslim dan digantikan oleh komunitas Kristen. Dewasa ini Carmen telah berkembang menjadi kota berpenduduk mayoritas Kristen.
BAGAIMANA PERAN ASEAN DALAM KASUS MORO INI?
AJENG DWI DZURIYAH (1302045001): Bangsa Moro telah dimarginalkan oleh Pemerintah Filipina, karena merupakan etnis minoritas Islam yang tinggal di Pulau Mindanao, Filipina, disamping mayoritas Filipina yang beragama Kristen Katolik. ASEAN, sebagai organisasi regional tidak bisa berbuat apa-apa karena prinsip non-intervensi yang dianut oleh “ASEAN Way” sebagai salah 1 prinsip hubungan kerja sama mereka. Peran ASEAN tidak efektif dalam sengketa ini. Walaupun begitu, ada upaya-upaya dari anggota-anggota negara ASEAN seperti Indonesia dan Malaysia yang bertindak sebagai mediator. Di tahun 1993 Indonesia mendapat kepercayaan sebagai ketua Komite Quartdhipartie, sebuah komite dibawah Organisasi Konferensi Islam untuk muslim minoritas. Dan dibawah kepemimpinan Indonesia tercapai sebuah perundingan antara Pemerintah Filipina dan MNLF yang menghasilkan Final Peace Agreement (FPA) atau perjanjian damai di tahun 1996. Namun perundingan ini kemudian tidak berjalan efektif. Lalu, pada tanggal 20 April 2010 Indonesia selaku ketua OIC-PCSP telah berhasil mendorong Pemerintah Filipina dan MNLF menandatangani nota kesepahaman Panel Hukum di Tripoli, Libya. Pada tanggal 29 Mei-1 Juni 2012 Indonesia kembali menginisiasi dan memfasilitasi pertemuan Legal Panel antara Pemerintah Filipina dan MNLF di Surabaya.
Sedangkan peran Malaysia, pada tahun 1998 pemerintah Malaysia menginiasiasi pertemuan Presiden Filipina, Fidel F. Ramos dan Pemimpin MNLF, Prof. Nur Misuari. Kemudian perundingan dilanjutkan antar Pemerintah Filipina dan MILF pada tahun 2012 di Kuala Lumpur dengan tuntutan Otonomi Khusus Bangsa Moro. Namun hasil perundingan pada tahun 2012 kembali gagal dan terakhir pada tahun 2014, Malaysia kembali menjadi mediator antara Pemerintah Filipina dan MILF. Sehingga tercapai sebuah kesepakatan damai diantara keduanya. Peran Indonesia dan Malaysia sebagai mediator penyelesaian konflik Moro-Pemerintah Filipina dapat dinilai cukup efektif, karena membuahkan hasil perjanjian-perjanjian perdamaian walaupun kerap gagal karena faktor dari dalam Filipina dan Moro sendiri. Dari konflik ini, dapat dilihat bahwa faktor utamanya ialah nasionalisme, yakni perjuangan Bangsa Moro mempertahankan nasionalisme Mindanao dan Islam-nya dan Filipina dengan keyakinannya sendiri, nasionalisme Filipina yang mayoritas beragama Kristen.
DHITA ANGGRAINI A. (1302045016): Data yang saya temukan dari OPAPP (Office of the Presidential Adviser on the Peace Prosses) yaitu, Pemerintah Filipina dan Bangsa Moro sendiri dengan bantuan mediasi ASEAN telah menyepakati Framework Agreement of the Bangsa Moro yang ditandatangani pada tanggal 15 October 2012. Dengan isi pilar (Annexes):
- Annex on Transitional Arrangements and Modalities (signed 27 February 2013)
- Annex on Revenue Generation and Wealth Sharing (signed 13 July 2013)
- Annex on Power Sharing (signed 08 December 2013)
- Annex on Normalization (signed 25 January 2014)
Dan Addendum:
Addendum on Bangsa Moro Waters (signed 25 January 2014)
Jadi pemerintah Philipna telah melakukan perdamaian berkelanjutan dan produktifitas komunitas Bangsa Moro dengan mengedepankan aspek keamanan, pembangunan sosio-economic dan transisi keadilan.
NADIA SURYANINGRUM: Dalam kasus ini saya mengambil contoh peran yang dilakukan Indonesia terhadap konflik bangsa Moro di Filipina. Pada pertengahan 1990-an pemerintah RI pernah berkontribusi penting mengatasi masalah konflik bangsa Moro di Filipina Selatan. Kala itu, tahun 1995 pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto menawarkan jasa baik menengahi konflik itu. Tawaran direspons positif oleh Misuari dan pemerintah Filipina di bawah Presiden Fidel Ramos. Perundingan penjajakan menghasilkan kesepakatan yang memungkinkan MNLF bisa berdamai dengan pemerintah Filipina. Maka, perundingan MNLF dengan penguasa di Manila berlanjut dengan ditengahi Indonesia. Klimaksnya, pada 2 September 1996, pemerintah Manila melalui Fidel V. Ramos (Presiden Filipina) dan Misuari, pemimpin perjuangan Muslim Mindanao, melakukan penandatanganan perjanjian damai yang disaksikan oleh Presiden Soeharto yang dilakukan di Istana Merdeka Jakarta. Nama perjanjian tersebut adalah “Final Peace Agreement (FPA)”.
Kemudian, penguasa Manila memberikan wilayah otonomi khusus Muslim Mindanao (ARMM) dan mendiami Kepuluan Mindanao beserta gugusannya di Filipina Selatan. Namun, apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menengahi konflik tersebut belum berjalan secara efektif. Karena hingga saat ini konflik Moro di Filipina masih belum terselesaikan.
NUR HASANAH: Menurut pendapat saya ASEAN tidak efektif dalam menangani keamanan yang ada dia Asia Tenggara. Walaupun ASEAN merupakan organisasi regional yang telah berhasil mengembangkan sektor perekonomian dan sosial-budayanya, namun nyatanya melupakan sektor keamanannya. Fakta-fakta menunjukkan bahwa ASEAN membiarkan konflik-konflik yang terjadi di wilayahnya hanya ditangani secara bilateral atau oleh negara yang bersangkutan saja. Jika ini dibiarkan terus, maka dunia dapat menganggap bahwa ASEAN menyetujui konlik-konflik yang melanggar HAM, seperti yang terjadi di Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa ASEAN belum mampu membangun ASEAN Security Community yang katanya akan mengintegrasikan upaya mengatasi permasalahan keamanan di Asia Tenggara, sebab perasaan akan permasalahan regional tersebut masih belum terbangun. Tantangan yang ada saat ini adalah bagaimana ASEAN dapat melemahkan prinsip non-interference secara perlahan-lahan. Sebab dengan prinsip non-interference yang masih kuat, maka ASEAN Security Community yang merupakan pilar penjaga stabilitas keamanan Asia Tenggara akan sulit untuk dilakukan. Dan tanpa pilar keamanan yang kuat, tentu kita boleh bersikap pesimis terhadap masa depan ASEAN Community, karena keamanan merupakan pilar utama yang dapat menjaga bisnis dapat berjalan dan menjaga orang-orang untuk berinteraksi satu sama lain.
DEVI WULANSARI: ASEAN adalah organisasi regional yang sering dikatakan telah berhasil menjalankan tugasnya dalam mengintegrasikan Asia Tenggara. Secara politis, ASEAN, melalui prinsip non-interference-nya, telah berhasil mengembangkan seperangkat nilai, norma, dan institusi yang memungkinkan perang di antara anggotanya menjadi tidak terpikirkan sama sekali. Sayangnya, integrasi yang telah diupayakan oleh ASEAN menemui paradox. Walaupun dikatakan berhasil meniadakan perang di antara negara-negara anggotanya, ASEAN tetap belum mampu meniadakan sengketa perbatasan yang masih sering terjadi di antara mereka. ASEAN juga belum mampu meredam konflik-konflik intranegara yang terus bertumbuh semenjak berakhirnya Perang Dingin. Konflik-konflik intranegara tersebut banyak yang bereskalasi menjadi permasalahan yang mengancam keamanan nasional, seperti konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Indonesia dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Filipina. Permasalahan-permasalahan dalam sektor keamanan tersebut berpotensi mengganggu hubungan ekonomi dan sosial budaya yang sudah terbangun dengan baik serta dapat menghambat penciptaan ASEAN Community karena dapat menimbulkan ketegangan dalam hubungan antarnegara anggota ASEAN.
secara ECONOMIC STRUGGLE:
Pelaksanaan Kerjasama Ekonomi Sub-Regional (KESR) dilakukan untuk mengambil manfaat dan saling melengkapi dalam mempercepat pembangunan ekonomi melalui peningkatan arus investasi, pengembangan infrastruktur, pengembangan sumber daya alam dan manusia, serta pengembangan industri. Tujuan utama pembentukan sub-wilayah pertumbuhan adalah untuk memadukan kekuatan dan potensi-potensi tiap-tiap wilayah yang berbatasan sehingga menjadi wilayah pertumbuhan yang dinamis. Kerjasama ekonomi sub-regional, sering juga disebut sebagai segitiga pertumbuhan (growth triangle) atau wilayah pertumbuhan (growth area), merupakan salah satu bentuk keterkaitan (linkage) ekonomi antar daerah dengan memiliki unsur internasional. Daerah anggota kerjasama tersebut lebih dari satu negara.
Menurut M. Banu Purnadinata (1302045002), kerjasama negara-negara Asean adalah kerjasama di segalabidang terbukti dengan adanya sebutan kerjasama sijori yaitu (singapura,johorbaru,dan riau/batam). Dalam beberapa tahun terakhir kerjasama di 3 daerah itu sangat berekembang pesat seperti simbiosis mutualisme yang sangat subur di antara ketiga nya, dari data di lapangan di daerah segitiga ini adalah jalur perdagangan yang sangat sibuk dari Asia Timur, Amerika bagian barat, Timur tengah dan Eropa. Tingkat perekonomiannya juga sangat menghasilkan dan dengan adanya Asean Comunnity kedepan nya ini saya prediksi ketiga daerah ini akan saling maju dan cepat berintergrasi karena termasuk zona yang subur akan perekonomian.
Sedangkan menurut Putri Annisa R. (130204554), Kerjasama ini ternyata telah dapat mendorong pengembangan kegiatan industri baik di Johor dan di Batam yang selanjutnya mendorong pula pembangunan pada kedua wilayah tersebut. sebagai contoh Batam merupakan wilayah yang kemudian mengalami perkembangan pesat setelah adanya kerjasama SIJORI. Pemerintah menjadikan Batu Ampar di Pulau Batam sebagai wilayah entreport partikulir berdasarkan Keppres No.74/1971 dan Reglement A. Ordonansi Bea (S.1931 No.471). Sejak saat itu, investasi asing mulai masuk dan berlokasi di Batu Ampar. Investasi ini terutama industri yang berkaitan dengan peralatan pengeboran minyak lepas pantai. Selain itu, industri yang banyak membutuhkan barang impor, seperti kegiatan dan logistik minyak, juga berkembang di Batu Ampar. Hal ini adalah dampak dari kerjasama dimana Pemerintah Singapura mendorong perusahaan di Singapura untuk berinvestasi di Batam, yaitu di Kawasan Industri Batamindo.
Azhar Taufiq Hamdi (1302045011) menambahkan bahwa, pembangunan kawasan SIJORI ini bertujuan mempercepat proses pembangunan di wilayah tersebut, menjadikan kawasan SIJORI sebagai pusat industri baru, dan mempererat hubungan ketiga negara. Kerjasaama antar ketiga wilayah ini saling melengkapi sebagaimana diketahui bahwa Singapura adalah negara dengan teknologi dan kemampuan modal yang kuat, akan tetapi mempunyai harga tanah dan upah tenaga kerja yang sangat mahal. Sedangkan Johor dan Batam mempunyai karakteristik lain yaitu, mempunyai tanah dan tenaga kerja yang banyak dengan harga yang relatif murah , tetapi mempunyai kelangkaan dalam modal dan teknologi. Melalui kerjasama mikro regional, perbedaan karakteristik daerah ini dapat dipadukan sehingga menghasilkan kegiatan usaha yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Menurut Eva Anita Fauzia (1302045052), kerja sama BIMP-EAGA, jika dimanfaatkan secara optimal oleh masing-masing negaraakan dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di kawasan Asean, terutama kalangan industri kecil dan menengah. Tujuan kerjasama ini adalah mempercepat pembangunan ekonomi di wilayah-wilayah yang menjadi fokus, yang meskipun jauh dari ibukota negara, namun memiliki kedekatan strategis satu sama lain, dan berada di wilayah di dunia yang paling kaya dengan sumberdaya alam, termasuk Jantung Hutan Kalimantan (Heart of Borneo, HoB) dan kawasan Ekoregion Kelautan Sulu-Sulawesi (Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion, SSME).
Namun menurut Ayu Aditriya (1302045049), di antara semua kerjasama sub-regional yang yang dilakukan oleh sesama anggota ASEAN, yang memiliki prospek kerjasama yang baik adalah kerjasama sub-regional IMT-GT (Indonesia –Malysia-Thailand Growth Triangle). Melalui kerja sama IMT-GT, sektor swasta terus didorong menjadi “engine of growth”. Sehingga untuk tujuan tersebut telah dibentuk suatu wadah bagi para pengusaha di kawasan IMT-GT yang disebut Joint Business Council (JBC). JBC secara aktif ikut dilibatkan dalam rangkaian SOM/MM IMT-GT setiap tahunnya. Sektor swasta telah memainkan dan akan terus memainkan peran kunci dalam mempromosikan Kerja Sama Ekonomi di IMT-GT. Tujuannya, adalah untuk meningkatkan intra-IMT-GT dan antar Indonesia – Malaysia – Thailand Segitiga Pertumbuhan Perdagangan dan Investasi.Jika dilihat dari prospeknya sejauh ini IMT-GT merupakan yang paling seimbang dan continue ketimbang kerjasama sub-regional lainnya.
Onel Oktavian (1302045040) menambahkan bahwa, IMT-GT merupakan yang paling seimbang dan continue ketimbang kerjasama sub-regional lainnya. Sebab dapat dilihat dalam kerjasama ini menggunakan win-win solutions dimana tidak ada satu pihak yang sangat diuntungkan dan pihak lainnya yang merasa tidak mendapatkan keuntungan. Selain daripada itu prospek kerjasama IMT-GT dinilai paling mumpuni dan memeiliki prospek yang bagus untuk dilanjutkan. Karena dengan pasar total 72 juta dan tanah seluas 602,293.9 kilometer persegi, potensi pertumbuhan dan pembangunan untuk Regional ini sangat besar.
Menurut M. Rendra Saputra (1302045071), sebenarnya Indonesia merupakan pasar potensial, apalagi jika Indonesia mewujudkan kerja sama dan membangun jaringan ekonomi segitiga antara Indonesia – Tiongkok – india. Jumlah penduduk di Tiongkok dan India saja sudah lebih dari 1,2 miliar dan Indonesia sekitar 255 juta jiwa. Potensi dari jumlah penduduk pada kerja sama segitiga antara Indonesia – Tiongkok – India saja sudah mencapai 60 persen dari penduduk dunia. Dengan jumlah penduduk yang besar sudah seharusnya Indonesia berjaya di pasar Asean. Namun hal ini tidak di dukung oleh birokrasi Indonesia.
Namun menurut Danra Fatimah (1302045051), masalah perekonomian di ASEAN sangat tergantung dengan masalah perekonomian dunia saat ini, tidak bisa dipungkiri jika gejolak mata uang yuan sangat berpengaruh pada perekonomian negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Karena faktor tersebut perekonomian di Asia Tenggara masih labil dan cenderung individualis dalam menghadapi permasalahan yang ada, mereka berlomba untuk menstabilkan perekonomian dalam negerinya terlebih dahulu, mungkin ada beberapa negara yang melakukan hal yang berbeda seperti lebih mendahulukan kerjasama dengan negara tetangga dalam rangka memperbaiki ekonominya, tapi itu masih jarang di lakukan saya rasa.
Bisa disimpulkan bahwa wilayah kerjasama sub-regional mencakup kawasan yang relatif tertinggal karena itu pembangunaninfrastruktur menjadi sangat penting. Selain itu, komitmen politik sangat dibutuhkan terutama untuk meningkatkan volume kerjasama dalam perdagangan, investasi, pariwisata, dan sektor industri. Komplementaritas ekonomi perlu dimanfaatkan sebaik mungkin dengan meningkatkan peran swasta terutama dalam Business Council. Koordinasi antar menteri terkait, seperti Menteri Perhubungan, Pariwisata, Pertanian, Tenaga Kerja, Pekerjaan Umum, Keuangan, Bea Cukai, Imigrasi, dan Karantina sangat menentukan keberhasilan program Roadmap development.
secara ECONOMIC AND SOCIAL MARGINALIZATION:
Nurlelawati (1302045062) ASEAN bekerja sama dalam bidang ekonomi dan sosial budaya. Dalam bidang ekonomi meliputi :
- Membuka Pusat Promosi ASEAN untuk perdagangan, investasi dan pariwisata di Tokyo Jepang, dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ke Jepang dan meningkatkan penanaman modal serta arus wisata Jepang ke negara-negara ASEAN.
- Menyediakan Cadangan Keamanan Pangan ASEAN, terutama beras, untuk keperluan darudat. Cadangan pangan tiap-tiap negara adalah: Indonesia: 12.000 ton; Malaysia: 6.000 ton; Filipina: 12.000 ton; Thailand: 15.000 ton; dan Singapura: 5.000
- Menyelenggarakan pembangunan proyek-proyek industri ASEAN, antara lain: proyek pabrik pupuk urea ammonia di Aceh, Indonesia (ASEAN Aceh Fertilizer Project); proyek pabrik urea di Malaysia (ASEAN Urea Project); proyek industri tembaga di Filipina (ASEAN Copper Fabrication Project); proyek pabrik vaksin di Singapura (ASEAN Vaccine Project); dan proyek abu soda di Thailand (Rock Salt Soda Ash Project).
Sedangkan dalam bidang sosial budaya:
- Meningkatkan kerja sama menanggulangi perkembangan jumlah penduduk di wilayah ASEAN.
- Meningkatkan kerja sama pencegahan dan penyalahgunaan narkotika.
- Memperkenalkan negara-negara anggota melalui sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
- Mengadakan pekan film dan Festival Film.
- Menyelenggarakan program pertukaran acara radio dan televisi antar anggota.
- Menyelenggarakan Festival Lagu.
- Menyelenggarakan Festival Seni.
- Menyelenggarakan Program Pertukaran artis radio/televisi.
Lia Melyana (1302045018) :Terdapat prinsip yang membuat ASEAN tidak dapat berbuat banyak, yaitu prinsip Non-intervensi. Sebagai contoh kasus Morro di Filiphina dan Pattani di Thailand, dimana kebijakan pemerintah dirasa tidak adil dan memaksa untuk mengkristenkan masyarakat minoritas yang ada di moro. Itu tentu saja membutuhkan penyelesaian sebab dapat menimbulkan konflik antar etnis dan peran ASEAN sebagai mediasi hanya bersifat memberi saran dan penengah.
Ayu Anggryni (1302045037): menurut saya Organisasi yang beranggotakan 11 negara ini pun tak berkutik menghadapi gelombang krisis. ASEAN sebagai organisasi regional dinilai tidak mampu menjalankan fungsi ekonominya dan mengatasi Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial) secara konkret pada saat-saat kritis. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kontribusi ASEAN bagi pertumbuhan dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara ini.
Eri Adiati (1302045067) menambahkan, saya setuju dengan pernyataan Ayu Anggryni karena sepanjang permasalahan domestik maupun antar Negara anggota ASEAN yang banyak melibatkan marjinalisasi ekonomi dan sosial, ASEAN sebagai organisasi regional tidak banyak berbuat banyak dalam menyelesaikan masalah tersebut. Jika dikatakan efektif atau tidak, ASEAN belum sepenuhnya efektif.
Dahliani Safitri (1302045042): menurut saya kalau untuk sekarang, ketimpangan khususnya dalam bidang ekonomi memang terlihat jelas di mana Singapura memimpin lalu diikuti oleh Negara lain. Walaupun Negara lain berusaha mengejar ketertinggalan, tapi masih jauh dari harapan. Sebentar lagi MEA akan berlangsung, dengan harapan semua Negara bisa meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dan memiliki perekonomian yang seimbang dan bukan justru menciptakan ketimpangan yang lebih jauh lagi.
secara POLITIC
Nadya Octaviana (1302045012): Menurut saya pribadi, peran ASEAN sangat penting karena dengan adanya ASEAN dapat memfasilitasi Negara-negara anggotanya untuk melakukan kerjasama, entah itu dalam bidang bilateral, multilateral. Contohnya saja kerjasama yang dilakukan antara Indonesia, Philipina dan Malaysia (MAPHILINDO) di bidang politik, ekonomi dan budaya. Sejak awal pembentukannya sendiri, ASEAN telah berhasil mengembangkan dan mempertahankan stabilias dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara, serta menumbuhkan rasa saling percaya di antara Negara anggotanya dan paramitra wicara ASEAN. Salah satu bentuk deklarasi yang dicetus oleh ASEAN adalah konsep ZOPFAN itu awalnya datang dan Negara Malaysia. Sasaran dari ZOPFAN ini adalah kerjasama politik ASEAN, dan untuk menciptakan kemanan dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Hadirnya konsep ZOPFAN ini karena adanya keinginan dan negara-negara anggota ASEAN untuk dapat hidup aman dan sejahtera agar dapat melaksanakan proses pembangunan di negaranya. Adanya kehadiran kekuatan negara-negara adidaya di kawasan Asia Tenggara membawa pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan negara-negara kawasan. Pengaruh tersebut sangatlah membawa suatu perubahan karena berpengaruh terhadap konstalasi politik di negara-negara kawasan dan berpengaruh juga bagi keamanan, perdamaian, keseiahteraan dan stabilitas politik di kawasan Asia Tenggara.
Rinda Rizki Fitriana (1302045015): Sejak 1976, Indonesia telah secara nyata merasakan efek positif dengan adanya ASEAN bagi pembangunan domestik. Sejak ditandatangani dan berlaku efektifnya TAC, rivalitas di kawasan Asia Tenggara juga berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan konflik terbuka, sehingga pemerintah juga dapat memfokuskan diri pada agenda pembangunan nasional.
Achmad Syahrif (1302045033): Menurut saya ASEAN semakin lama semakin penting. Hal yang paling mendasar dalam security, Indonesia dengan Negara anggota-anggota ASEAN bisa hidup berdampingan secara damai, menjaga hubungan masing-masing Negara.Walaupun ada, Indonesia selalu mencoba menghindari konflik. Inilah kontribusi ASEAN yang paling terlihat .
Nur Aeni (1302045059): Menurut saya, dengan adanya ASEAN sebagai wadah atau fasilitator kerjasama Negara- negara Asia Tenggara memberikan efektifitasyang sangat menguntungkan untuk kawasan regional Asia Tenggara. Sebagaimana yang kita ketahui terbentuknya ASEAN terdiri dari 2 faktor yaitu yang pertama faktor internal, adanya tekad bersatu untuk memperjuangkan kepentingan bersama sebagai bekas negara jajahan barat dan faktor kedua yaitu faktor eksternal, adanya perang Vietnam (Indo-Cina) dan sikap RRC ingin mendominasi Asia Tenggara. Dan maksud serta tujuan dibentuknya ASEAN adalah untuk meningkatkan kerjasama di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik serta mewujudkan ketertiban dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara.
Muhammad Halim (1302045005): Melanjutkan dari pembahasan saudari Nur Aeni, sejak ASEAN berdiri, Indonesia telah mengambil peran yang sangat penting. Peran pertama Indonesia yaitu dengan ikut mendirikan ASEAN. Selanjutnya Indonesia diberi kepercayaan menyelenggara KTT Asean I yang dilaksanakan di Bali tanggal 23-24 Februari 1976.Salah satu kesepakatan yang dihasilkan KTT Asean I yaitu pembentukan Sekretariat ASEAN di Jakarta. Adapun yang menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) ASEAN pertama adalah H.R. Dharsono, seorangputra Indonesia. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa Negara kita cukup berperan besar dalam ASEAN. Indonesia juga berperan dalam menciptakan perdamaian. Indonesia banyak membantu negara-negara anggota ASEAN lain yang sedang mengalami konflik.
Luthfir Rahman W. (1202045004): ASEAN memiliki sebuah peranan penting bagi Indonesia karena sebuah kerjasama berarti saling berhubungan, saling membuat jalinan dan saling dukung mendukung untuk kepentingan bersama serta saling menguntungkan. Kerjasama dalam perdagangan, pendidikan, keamanan bersama, kebudayaan, dan lain-lain. Hal yang lain juga bahwa Indonesia adalah satu dari 5 negara yang telah membentuk ASEAN menjadi sebuah organisasi regional. Setelah itu di ASEAN, Indonesia lah yang berinisiatif mengusulkan pembentukan suatu komunitas ASEAN yang tidak hanya menyandarkan pada kerjasama ekonomi (seperti yang diusulkan Singapura), tetapi juga ada aspek lain yang harus diperhatikan, yaitu kerjasama politik dan keamanan, serta kemudian disusul kerjasama sosial budaya. Adalah Indonesia yang memperjuangkan dimasukkannya elemen-elemen penting seperti demokratisasi dan penghormatan serta penegakan HAM dalam kerjasama politik dan keamanan yang kemudian dituangkan dalam Piagam ASEAN dan cetak biru kerjasama politik dan keamanan.”
Siti Nur Jannah (1302045031): Dapat disimpulkan bahwa bentuk hasil dari pemikiran bahwa ASEAN sangat efektif dalam memberikan peran dan turut serta membantu Indonesia untuk saling mengembangkan politik serta perekonomian di sektor regional ini. Sebaliknya, Indonesia turut membantu ASEAN untuk bersama-sama membangun ASEAN demi kemajuan organisasi regional.Secara garis besar adalah peran ASEAN di bidang politik menjadi tolak ukur sebuah negara untuk memajukan dan membuat stabil negara itu sendiri.Sebagaisebuahorganisasi regional di kawasan Asia Tenggara yang bersifat non militer dan non politik, ASEAN telah mampu menciptakan stabilitas, perdamaian dan keteraturan di kawasan sehingga membantu Indonesia untuk melanjutkan progam-progam pembangunan di segalabidang dan mendorong Indonesia untuk menjadi bangsa yang lebih maju. Padaintinyahubungan Indonesia dengan ASEAN salingmenguntungkan.
secara IDENTITY
Mayang Sari mengatakan bahwa masalah keamanan di ASEAN bukan lagi masalah tradisional seperti perang tetapi non tradisional seperti IUU fishing, human security, illegal loging, human traficking, drugs dan sebagainya. Jika melihat track record ASEAN dalam menangani masalah keamanan tradisional di asia tenggara maka asean memberikan kontribusi yang cukup signifikan. Namun, dalam masalah non tradisional asean belun cukup mampu dalam mengatasi masalah tersebut.
Azizah Astrid (13020405010) menambahkan bahwa Hal diatas dibuktikan dengan tingkat masalah keamanan tradisional yang terus meningkat, salah satunya masalah human trafficking, dan asia tenggara adalah salah satu kawasan terbesar dalam kasus human trafficking. Menurut data ILO (International Labor Organization), keuntungan human trafficking di Asia tenggara mencapai US $ 31M/tahun.
secara MILITER
Menurut Selvi Ramadhani Putri (1302045004), peran ASEAN menghadapi isu-isu dibidang militer contohnya seperti ASEAN menghadapi isu terorisme yang ada didunia. Menurut saya, peran ASEAN sudah cukup efektif. Itu pun sudah dimulai bahkan sebelum kejadian 11 september 2001 serangan di AS. Mengadopsi deklarasi ASEAN tentang kejahatan transnasional di ASEAN 1997 dan rencana aksi untuk memerangi transnational crime pada tahun 1999 untuk menerapkan deklarasi. Selain itu ASEAN juga mempunyai upaya bekerja sama antar militer negara-negara anggota ASEAN dan membentuk suatu komite yang disebut HADR. HADR ini menurut saya adalah bentuk dari peran ASEAN untuk menghadapi isu-isu di bidang militer.
Negara-negara anggota ASEAN juga menganggap penting peran militer dalam upaya pemberian bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana. Untuk itu, ASEAN merancang aturan yang akan menyertakan kemiliteran negara-negara ASEAN setiap kali terjadi bencana.
Para perwakilan militer negara-negara di ASEAN pun menggodok sebuah perancangan di acara lokakarya yang diadakan di Jakarta, 28-29 maret 2011. Rancangan itu adalah Komite Bersama Penggunaan Aset dan Kapasitas Militer ASEAN dalam pemberian bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana (Humanitarian Assistance and Disaster Relief/HADR). ASEAN membentuk komite bersama ini berawal dari keyakinan militer amat berperan dan dapat segera dikerahkan dalam memberikan respon cepat saat bencana terjadi. Negara-negara ASEAN pun terbukti memiliki kapasitas militer yang dapat dikerahkan dalam operasi bantuan kemanusiaan, baik di tingkat regional maupun internasional.
Tujuan utama pembentukan komite bersama ini adalah memajukan dan meningkatkan kerja sama antar militer dari negara-negara ASEAN melaluin penggunaan aset dan kapasitas militer. Komite bersama ini nantinya akan mengemban tugas pelaksana semua kegiatan berkaitan operasi HADR negara-negara ASEAN. Selain itu, tanggung jawab komite bersama adalah menyusun standar prosedur operasi militer ASEAN dalam upaya bantuan kemanusiaan. Komite ini juga memfasilitasi latihan gabungan seluruh angkatan militer dari negara ASEAN, mengeksplorasi dan mengidentifikasi wilayah kerjasama dibidang HADR, dan melakukan operasi bersama HADR.
Sedangkan menurut Paskalia Kavung (1302045030) peran militer ASEAN di domestik belum kuat karena masih adanya intervensi asing seperti pangkalan militer Amerika Serikat yang berada di Singapura, hal ini menunjukkan bahwa ASEAN belum mampu menghilangkan intervensi militer asing di domestiknya, jika memang ASEAN kuat militernya otomatis bisa menghilangkan pengaruh tersebut dan pangkalan militer AS bisa ditutup seperti di Jepang.
Menurut Indra Dede Iskandar (1202045097), jika ditilik dari kekuatan militer indonesia. Indonesia, masih menjadi negara terkuat dikawasan Asean, untuk peringkat Dunia saja Indonesia menduduki peringkat ke 15, dari ratusan negara, sementara negara – negara Asean berada ditingkat puluhan. Tak ayal, negara negara di kawasan Asean sangat ingin bekerja sama dengan militer Indonesia yg memang sudah banyak kemajuan dan modernisasi disana sini. Di Asean Community, ada kerjasama Militer dalam artian saling menjaga keamanan dikawasan Asean, otomatis negara negara Asean sedikit banyak sangat berharap Militer Indonesia menjadi pemimpin keamanan di Asean, yg otomatis menjaga keamanan negara negara tersebut, dari berbagai ancaman. Selain itu, Kemajuan alutsista sangat berpengaruh terhadap pertahanan negara bahkan bisa berpengaruh terhadap kedudukkan negara dalam diplomasi politik Internasional. Kekuatan pertahanan juga harus terus diperkuat mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dan sangat luas berpotensi adanya ancaman keamanan nasional.Contohnya pelanggaran wilayah perbatasan darat, gangguan keamanan di laut dan pelanggaran wilayah yurisdiksi laut, pemanfaatan ruang udara nasional secara ilegal, dan upaya-upaya penguasaan wilayah Indonesia oleh negara lain.Kekuatan pertahanan Indonesia kini sudah tak bisa lagi dianggap remeh. Bahkan, pemerintah melalui Kementerian Pertahanan berkeyakinan TNI akan memiliki daya kekuatan yang terbesar di antara negaralain di Asia Tenggara mengingat pada tahun 2014 sejumlah alutsista milik tiga matra akan memasuki masa panen, dimana akan berdatangan ke Indonesia.
Menurut Muhammad Rizal Armada (1302045008) untuk peran ASEAN dalam mengatasi isu-isu di bidang Militer masih dikategorikan belum efektif. Walaupun ASEAN memiliki ASEAN Regional Forum (ARF) yang bertugas menjaga stabilitas keamanan kawasan Asean dirasa masih agak sulit mengendalikan. Jika dilihat dari pendekatan Security Dilemma dirasa seluruh Negara Asean akan merasa dilema ketika melihat diantara Negara Asean meningkatkan anggaran belanja militernya ataupun peningkatan kerjasama di bidang militer hal ini akan meningkatkan kecurigaan diantara Negara-negara asean yang memunculkan security dilemma yang membuat seluruh Negara didalam kawasan Asean akan berlomba dalam persenjataan dan kapabilites militer nya ( Arm Race ). Dan dalam pendekatan realisme dirasa memang harus realistis memandang suatu Negara memiliki power serta legitimasi untuk menjaga keutuhan dan kestabilan Negara nya dengan meningkatkan anggaran serta kerjasama militer nya. Dengan kata lain peran ASEAN untuk meredam dan menjaga kestabilan isu-isu militer di antara Negara ASEAN terbilang sulit dikarenakan ketidakbisaan ASEAN dalam mengintervensi Negara-negara anggotanya.
Menurut Jesenia Pricilla Keintjem (1302045057) Seperti yang diketahui ada 4 negara asean yang ikut mengklaim kawasan laut china selatan yaitu malaysia, brunei darussalam, filipina dan vietnam. Apabila masing” negara anggota asean meningkatkan sistem pertahanan secara sendiri” tanpa melakukan konsultasi diantara sesama negata anggota maka justru akan memicu adanya perlombaan senjata. Hal ini jelas sangat mengancam stabilitas dan kondisi keamanan regional di masa datang. Peran ASEAN sebagai peredam konflik akan menjadisemakin penting ketika para anggota ASEAN saling mengingatkan bahwa komitmen terhadap Treaty of Amity in Southeast Asia (TAC) yang telah dicanangkan bersama beberapa tahun lalutetap menjadi langkah bagi penyelesaian konflik secara damai. Tujuannya agar mampumemanfaatkan peluang yang muncul dari isu yang berkaitan dengan masalah keamanan dengan mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik di kawasan. Dalam hal ini ASEAN harus tetap menjalankan diplomasi pencegahan ( preventive diplomacy) dalam lingkungannya sendiriuntuk mencegah konflik yang akan muncul ke permukaan. Selain itu, fungsi ASEAN dalammembangun saling percaya (confidence building measures) yang mempertemukan kepentingan-kepentingan keamanan di kawasan juga perlu ditingkatkan terus agar tercipta perimbangan kepentingan di antara anggotanya.
Menurut Rizki Rahmadani (1302045025) Regional Forum (RF) merupakan suatu forum yang dibentuk oleh ASEAN pada tahun 1994 sebagai suatu wahana bagi dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan, serta untuk membahas dan menyamakan pandangan antar negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan. Dalam kaitan tersebut, ASEAN merupakan penggerak utama dalam ARF. ARF merupakan satu-satunya forum di level pemerintahan yang dihadiri oleh seluruh negara-negara kuat di kawasan Asia Pasifik dan kawasan lain seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat China, Jepang, Rusia dan Uni Eropa (UE). ARF menyepakati bahwa konsep keamanan menyeluruh (comprehensive security) tidak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan tradisional namun juga terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti isu keamanan non-tradisional.
Menurut Azhar Anshari (1202045029) pengaruh militer Indonesia dalam kawasan Asia Tenggara sangat besar, Indonesia akan sangat berperan dalam maritim security yang di bentuk oleh ASEAN. Secara mikro, ada peluang bagi TNI AL untuk mengisi dan mewarnai kerjasama keamanan maritim ASEAN. Untuk itu, sangat tepat bila TNI AL bersiap dengan sejumlah agenda yang pada dasarnya dirancang selaras dengan kepentingan laut nasional. Angkatan laut mengawal dua pertiga perairan Asia Tenggara, sudah sewajarnya bila TNI AL lebih siap dengan agenda keamanan maritim di kawasan.